Minggu, 05 Desember 2010

Kakak Tiriku Pacarku

Huah..... akhirnya ni cerpen jadi juga.... 
Sebenernya sih gw ga berniat ngelanjutin cerita ini,, tapi gara" gw bosen nd butuh sesuatu tuk ngisi hari" gw,,ywdh lah gw bkin aja cerpen nie...
brhubung nie crita pertama gw, jadi maklumin aja yah klo kurang bagus...
___________________________________________________________________________________________________________

                                                                     

      Aku tak pernah menyangka, aku akan berdiri di sini, dengan keadaan yang seperti ini pula. Tulisan ini sungguh membuat hatiku hancur berkeping-keping. “Andinnie binti Sudirga ; lahir 8 Mei 1970 ; meninggal 22 Desember 2009”. Aku tak pernah berfikir sedikit pun, aku akan melihat batu nisan yang bertuliskan nama mama. Aku hanya bisa terpaku dengan air mata dipipi. Pikiranku kosong. Yang ada hanyalah kenangan manis yang ditinggalkan mama di hatiku. Tak kusadari semua orang telah pergi, meninggalkan aku, Bani, & nama mama yang begitu indah. Disaat aku sudah sadar, aku sudah berlutut di samping makam mama & bersandar di pundak Bani. Dengan lembut ia mengusap air mataku & membawaku pulang.

    3 hari setelah kepergian mama, bertepatan dengan hari Natal, Natal yang memilukan. Rumah ini terasa sepi, kecuali K’Momo, K’Ivan, & Bani, yang berusaha sebisa mungkin tersenyum & menghias pohon Natal, yang seakan meramaikan suasana, tetapi tidak dengan hatiku. Aku sudah tak tahan dengan semua ini. Tanpa kusadari, tangan ini memukul meja dengan amarah yang meledak-ledak & bertekiak “BERHENTI!”. K’Momo, K’Ivan, & Bani terhenti. Semua mata tertuju padaku. Suasana berubah hening. “Bani...” Suaraku yang menyedihkan itu memecah keheningan. “Tolong kamu pergi dari sini...”. “Apa?” Bani menjawab pertanyaanku dengan sangat bodoh. Itu justru makin membuatku marah & memaksaku untuk menumpahkan semua amarahku padanya. “PERGI!”. Setelah aku melontarkan kalimat itu, aku membuka mataku. Bani memang pergi. Bukan hanya pergi dari rumahku, bahkan ia telah pergi dari dunia ini. Di depan mataku hanya ada 2 buah mobila yg sungguh mengenaskan, melintang di depan rumahku. Aku mengenali salah satu dari mobil” itu. Ya, itu adalah mobil Bani, sesaat setelah aku mengusirya dari rumahku. Tak pernah aku menyangka, aku akan melewati Natal yg seperti ini.... tanpa 2 orang yg sangat aku cintai.... tanpa kekasih, & tanpa seorang ibu.

   Sudah hampir 1 tahun setelah Natal kelabu itu. Aku mulai mencoba bangkit dari hidupku yg suram ini. Setelah Natal kelabu itu berlalu, aku berubah menjadi sosok Widy yg pendiam, sering melamun, emosional, & semua nilaiku turun. Tetapi aku sadar, semua perubahanku ini tak akan membuat mama & Bani kembali ke pelukanku. Tetapi, mengapa disaat aku mulai bangkit kembali, masalah terus saja menghampiriku. Papa membawa seorang wanita & kedua anaknya. “Ivan, Widy, kenalin, ini tante Tamara, & yg ini anak 1 tante, namanya Dikta.” “Nah, klo yg ini anak k-2 tante, namanya Gita”. Papa melanjutkan pembicaraannya seperti orang tak punya dosa. “Tante Tamara akan menjadi mama kalian yg baru.” Apa? Kalimat papa yg terakhir itu sungguh menyakitkan hatiku. Aku tak bisa menerimanya begitu saja. Tak ada yg bisa menggantikan posisi mama di rumah ini. Papa seakan tak memperdulikan perasaaku. Aku berlari ke kamar & membanting pintu sekuat tenaga. Di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. K’Ivan tiba-tiba masuk ke kamarku, lalu memelukku dengan kasih sayang. Mengingatkanku pada mama. Aku juga bisa menyadari bahwa K’Momo mengintip dari balik pintu sambil menangis. Rupanya calon kakak iparku ini bisa merasakan apa yg sedang aku rasakan.

    1 bulan setelah perkenalan itu, papa melangsungkan pernikahannya dengan tante Tamara. papa memang sudah berusaha menjelaskannya padaku, & aku mau tak mau harus menerina alasan papa itu. Semua orang dalam ruangan itu nampak bahagia, bahkan K’Ivan & K’Momo masih sanggup tersenyum. Tapi aku tak setegar mereka. Aku hanya bisa bisa memasang muka masamku selama acara berlangsung. Baiklah, untuk sementara ini aku bisa sabar & sanggup menerima nasaibku yg malang ini. Tetapi, yg tak bisa ku terima adalah, aku harus 1 gedung sekolah dengan Dikta & Gita. Dikta kelas 3 SMA, aku kelas 1 SMA, & Gita kelas 1 SMP. Karena sekolahku jadi 1 dengan gedung SMP maka , jadilah penderitaanku yg sempurna ini. Ya Tuhan,, seandainya K’Ivan masih sekolah, aku akan berbagi penderitaanku ini padanya. Beruntungnya ia sudah kuliah & akan memulai hidup baru dengan K’Momo. Jadi ia tak begitu menderita, tak seperti aku yg harus bertemu setiap hari dengan orang” tak berguna itu.

    aku makin menyesal 1 sekolah dengan Dikta. Aku memang mengakui bahwa Dikta cukup tampan, gagah, & smart. Tapi aku tak bisa terima jika aku dianggap ‘tukang pos’ oleh fans” nya. Aku sudah lafal betul dengan ucapan mereka: “Widy, tolong sampein ini ke K’Dikta yah, jangan sampe lupa!”. Huft, aku hanya bisa berkata ‘ya’ & berjanji pada mereka bahwa aku akan menyampaikan surat” tak berguna itu pada Dikta. Tapi nyatanya tak semua ku berikan pada Dikta. Hanya sebagian yg kusampaikan padanya. Sisanya? Kubuang di tong sampah sesaat setelah mereka memberikannya padaku. Ini kulakukan bukan karena ku jealous pada mereka, tetapi karena tumpukan surat tak berguna itu, mejaku penuh, buku” tulisku berantakan, aku muak dengan semua ini. Ditambah lagi, buku pr-ku hilang entah dimana karena tumpukan surat tak berguna itu. Bu Liska tak bisa menerima alasan yg kuberikan padanya. Aku dihukum. Pukul 12 siang, aku diperintahkan untuk berdiri ditengah lapangan, menghadap keatas, & hormat bendera. Ini amat menyiksaku.tiba” Dikta menghampiriku & ikut hormat disampingku. “Mengapa kau kemari?” aku bertanya dengan ketus padanya. Ia menjawabku “Tidak membawa pr karena meja penuh dengan tumpukan surat?” Degg..... hei! Mengapa ia seakan bisa membaca pikiranku?! “Hei Bung, kau menyidirku?” dengan nada yg santai ia menjawab: “Tidak... mejaku memang penuh dengan surat...”. Ayolah sayang, jangan berlagak keren di depanku! Suasana menjadi hening, aku tak menjawab perkataannya bukan karena aku kehabisan kata”. Tetapi aku memang tak sanggup lagi bicara. Kepalaku terasa berat, & aku memejamkan mataku sejenak. Aku tak mengerti apa yang telah terjadi padaku, tetapi mengapa saat ku buka mataku, aku sudah terkulai lemas di atas ranjang UKS. Di ruangan kecil itu, aku dapat melihat Jonathan  disampingku. Sedangkan Helen, Indra, Beby, & Trian duduk di sofa tepat di depan ranjang yg ku tempati. Jonathan memanggil sahabat” ku & berkata bahwa aku sudah siuman. Aku bertanya pada Joe apa yg telah terjadi padaku. Ia menjawab bahwa aku tadi pingsan & digendong oleh Dikta. Aku tak mengerti mengapa saat dia berkata ‘Dikta’ raut mukanya langsung berubah. Huh, mungkinkah ia cemburu padanya? Tapi mengapa pula ia harus cemburu pada Dikta? Toh, aku pacaran dengannya karena ia terus memaksaku melupakan kenangan Bani & menjadi kekasihnya. Jadi, jangan salahkan aku jika ia sakit hati karenaku. “Wid...” Tiba” saja suara Trian menghentikan gerak-gerik Jonathan yg berlagak menjadi susterku, yg membuatku makin muak padanya. “Loe ga kasian ama K’Dikta? Tadi dia keliatan cemas banget tuh waktu gendong loe....” Trian melanjutkan pembicaraannya denganku. “Ia tuh Wid, K’Dikta tadi sampe dihukum keliling lapangan 10 kali gara” ninggalin hukumannya buat nolongin loe...” lanjut Helen sesaat setelah Trian selesai bicara padaku. Huft, kedua pasangan kekasih ini selalu saja bisa membuat hatiku luluh. “Baiklah, apa yg bisa kuperbuat untuknya? Memenuhi mejaku dengan semua surat” tak berguna itu, lalu aku ketinggalan pelajaran. Begitukah??” Hei! apakah nada bicaraku terdengar sinis? Maafkan aku sobat. “Tidak, kau hanya perlu meminta maaf & berterimakasih padanya” sambung Beby menjawab perkataanku. “Apa?? Meminta maaf? Bukankah itu ganjaran yg sesuai untuknya karena telah menyusahkanku? Lagipula, jika ia tak menolongku, kalian bisa kan menggantikannya untuk menolongku?”Ayolah sayang,, harga diriku mahal. “Ga bisa Widy cantik,, waktu loe pingsan, kita semua lagi ada kelas, guru” piket juga lagi pada rapat. Terimalah nasibmu Wid, bicaralah pada Dikta!” Indra benar” mambuatku terpojok & kehabisan kata”.. “Baiklah, aku menyerah. Nanti aku akan bicara padanya” Huh, sahabat”ku ini benar” membuat harga diriku menurun drastis! Terimakasih sayang!

   Sesampainya di rumah aku langsung saja berteriak memanggil Dikta. Ayolah kawan, aku tak ingin harga diriku diinjak-injak oleh sahabat”ku. “DIKTA!!!.... DIKTA!!!... DDIIKTAAAAAAAAAAAA!!!!!..............”  Oi, apakah aku seperti orang utan yg baru masuk ke kota? Ya udahlah, biarkan saja....  “Aduh, apaan sih Wid, kamu kayak orang kesetanan aja” Dikta membalasku dengan mata yg sangat berat. Aku mengulurkan tanganku. “Thanks udah nolongin aku tadi siang...” Ia membalas uluran tanganku & berbicara dengan nada yg sinis. “Oh, ya, sama”. Aku kira kau hanya bisa memasang muka masam, menangis, & pingsan di tengah lapangan, ternyata adik tiriku ini bisa berterimakasih juga, ya...” “Hei Bung, ternyata kau bisa juga berbicara dengan nada sinis. Ku kira kau hanya bisa berlagak keren di depan teman”ku, & memenuhi mejaku dengan tumpukan surat tak berguna itu.” Ia menjawabku dangan senang hati “Wow, ternyata kita sama” memiliki sisi lain yg tak pernah kita ketahui sebelumnya ya? Hwa, menarik... hahahahahahaha.... ^_^” “Hei, ternyata kau pandai melawak juga ya.. hahahaha... >_<” Aku baru sadar, ternyata aku bisa tertawa lepas dengan Dikta. Bahkan aku sempat bercanda di tangga dengannya. Saat aku bersamanya, aku seakan tak memiliki beban hidup apapun. Aku juga mulai bisa menerima Gita sebagai adikku. Yah, mungkin itu karena aku tinggal 1 kamar dengannya. Kini, aku bahkan mulai bisa berbagi apapun dengan Gita. Mulai dari berbagi cerita, canda, tawa, & kesedihan. Bahkan kami sering melakukan transaksi pertukaran pakaian. Haha... Aku tak pernah merasa sebahagia ini setelah kepergian mama.

   Tak terasa, sudah hampir 1 th aku menjalani hidupku yg baru ini. Rumah ini seakan hidup kembali. Rumah ini kembali hangat & meriah lagi, seperti dulu, sewaktu mama masih ada di dunia ini. Sampai pada waktunya aku berulang tahun, ulang tahun yg ke-17. Aku tak mengerti, seharusnya di umurku yg ke-17 ini, aku semestinya bisa lebih merasakan indahnya hidup ini. Tetapi mengapa pada hari ulang tahunku ini, aku justru mendapatkan masalah yg begitu banyak. Setelah acara ulang tahunku selesai, aku melihat seorang lelaki sedang duduk berdua dengan seorang wanita di belakang taman. Ia membelai lembut rambut sang wanita itu. Dan pada saat itu pula, aku bisa menyadari bahwa sepasang kekasih itu adalah Jonathan & Caca, teman sekelasku. Sebenarnya aku merasa bahagia atas kejadian ini, karna aku punya alasan yang sangat bagus untuk putus dengan Joe. Tetapi aku merasa sakit hati pada Caca. Dulu ia juga ikut mendesakku agar aku mau menjalin hubungan dengan Jonathan. Tetapi apa yang dia lakukan sekarang? Ia merebut Joe dariku. Meskipun aku memang berharap suatu saat Joe akan menduakan aku & aku yang memergokinya. Tetapi mengapa wanita itu harus Caca? Sontak aku menangis. Aku tersungkur dibalik sebuah pohon tua yang daunnya mulai berguguran, sama seperti persahabatanku dengan Caca. Ia telah menyakitiku. Bukan karena ia merebut Joe dariku, tetapi karena ia tak setia kawan denganku. Isak tangisku membuat Joe membalikan badannya & memaksa matanya berkelana untuk mencari asal usul tangisan itu. Ia menoleh ke arah pohon tua tempat aku tersungkur. Joe berjalan perlahan kearahku. Ia menggenggam pundakku & memanggil namaku. Sontak aku menoleh kearahnya. Aku dapat menyadari bahwa mataku sembab. Tetapi mungkin Joe tak menyadari hal itu, karena tempat ini begitu gelap, segelap hatiku. Aku bahkan tak bisa memastikan bagaimana raut wajah Joe melihat aku memergokinya dengan Caca. Aku hanya bisa tertunduk diam. Suasana kembali hening. Semua hanya bisa terpaku, termasuk juga aku. Aku melontarkan sebuah kalimat dengan nada yang memilukan. “Kita putus...” Suasana hening kembali. Aku segera berdiri & membalikan tubuhku. Aku melangkahkan kaki ini dengan sangat berat,, meninggalkan tempat itu dengan perasaan kecewa...   ****

   Aku pulang dengan keadaan yang mengenaskan. Mataku sembab, lutut, & telapak tanganku penuh dengan tanah. Aku berlari sebisa mungkin menuju ke kamarku. Tapi aku tak bisa. Jantungku berdegup begitu keras, membuat kakiku lemas, & tersungkur di depan kaki Dikta. Ia menggenggam pundakku & mengangkatku perlahan, “Kamu kenapa Wid?” Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku hanya bisa terdiam, aku sudah tak tahan dengan semua ini. Aku tak bisa lagi menahan perasaanku. Seketika aku memeluk Dikta, memeluknya dengan sangat erat, seakan aku tak ingin Dikta pergi dari sisiku. Ia membalas pelukanku dengan hangat. Aku tak mengerti, mengapa disaat aku berada di samping Dikta, aku merasa aman, hangat, & seakan akan ia bisa meggantikan posisi Bani di sampingku, bahkan di hatiku. “Aku putus dengannya, karena Caca. Ia menghianatiku, ia bersandiwara di depanku, ia bagai serigala berbulu domba! Aku benci padanya!” Aku terus berbicara pada Dikta sambil menangis. Aku tahu suaraku ini memilukan hati, tetapi aku terus melanjutkan kata”ku itu. Dikta melepaskan pelukanku dan berbalik merangkulku. Ia menggiringku kearah sofa dengan perlahan. Ia meletakkan kepalaku di atas pundaknya. Mataku mulai berat, dan akhirnya aku terlelap didalam pelukan Dikta. Aku membuka mataku & menemukan tubuhku terkulai lemas di atas pangkuan seorang pemuda yang tak asing lagi bagiku, Dikta. Ia duduk sambil tidur, memangku kepalaku. Tangan kirinya menggenggam tangganku, & tangan kanannya terkulai di kepalaku. Aku berdiri & membuat Dikta terbangun. “Semalem....”  Dikta menyeritkan keningnya, menungguku melanjutkan kata”ku. “Makasih ya...”  Aku melanjutkan kata”ku sambil menyunggingkan senyum sinis. Lalu aku membalikan badanku & berlalu. Namun panggilan Dikta menghentikan langkahku. “Widy... kamu ga sekolah? Siap” sana, biar aku yang anter...” “Ga usah, ga enak badan..” Setelah aku menjawab Dikta, aku pergi meninggalkannya. Seharian ini aku mengurung diri di kamar, tanpa makan & minum. Aku hanya meringkup di tempat tidurku. Aku memejamkan mataku. Sampai aku dibangunkan oleh dering telepon genggamku. Ada pesan. Dari Dikta...

From : Dikta
Message : Keluarlah...
                 Kau perlu memakan sesuatu.
                Jangan sampai aku repot karenamu.

Huft, baiklah, aku menyerah, aku akan keluar. Aku berjalan dengan malasnya menuju ke ruang makan. Di sana aku melihat berbagai macam makanan, makanan yang kusuka. Di atas piringku terdapat secarik surat.

From : Dikta
To : Widy
Message : Kemarin kau bilang padaku, kau kurang enak badan. Tapi kenapa kemarin kau seharian tidak makan? Huh, kuharap makanan” ini tak kau sia”kan begitu saja. Oh ya, kuharap hari ini kau masih bolos sekolah, karena aku, & mama akan pergi mendaftar ke perguruan tinggi, & satpam rumah lagi sakit. Jadi, kamu jaga rumah ya...

Huft, yaudahlah, nasib... mending aku makan aja dulu sekarang...

    Aku mendengar suara pintu terbuka. Itu pasti mama & Dikta. Aku segera mematian TV & berlalu. Tiba” suara Dikta menghentikan langkahku. “Kau masih mencintainya?” “Tidak.” “Lalu?” “Aku bukan sakit hati karena Joe. Tapi karena Caca. Ia menghianati persahabatanku. Cukupkah alasan yang kuberi?” “Hmmm, kurasa cukup.”  Ia lalu berjalan ke arahku sambil tersenyum sinis. Ia lalu sedikit membungkukkan badannya, & mendekatkan wajahnya kearah wajahku. Aku memilih untuk mengambil 1 langkah mundur, lalu ia berbisik padaku, “Besok jam 7 malam, aku akan menunggumu di cafe. Aku harap kau datang. Dan jangan beritahu mama, OK?”  Ia lalu mengedipkan sebelah matanya. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan hal itu. Aku hanya mengangguk, kemudian berlalu. Aku berlari kecil menuju ke kamarku, sambil membayangkan acara makan malam kami besok. Aku memilih miliu pernah ga sih suka sama Jonathan?” “Hah, kamu bercanda? Ya nggak lah,, aku pacaran sama dia gara” dia selaluh baju, & pilihanku jatuh pada gaun andalanku, yang pernah kupakai saat kencan pertamaku dengan Bani. Entah mengapa aku sangat bahagia saat itu. Tunggu, mengapa aku merasa sebahagia ini? Huh, yaudahlah, yang penting aku harus tampil sempurna besok.

    Mataku berkelana ke seluruh tempat di dalam ruangan cafe, mencari keberadaan Dikta. Itu dia! Aku menemukannya, di meja no.8. Aku duduk berhadapan dengannya. Entah mengapa suasana cafe ini menjadi begitu damai & sepi. Ia menggenggam tanganku, “Wid, sebelumnya aku mau nanya dulu sama kamu...” “Apa?” “Kam mojokin aku... Kenapa? Koq kamu nanya kayak gitu?” Dikta terdiam,, suasana kembali hening... akhirnya ia menjawab pertanyaanku, “Karena....” Aku menyeritkan keningku, kembali menunggunya berbicara. “Karena aku suka sama kamu, oh, bukan, aku bukan suka sama kamu, tapi aku CINTA sama kamu Widy...”

*** Setelah kematian ibu & kekasihku, ayah menikah lagi dengan seorang janda 2 anak, tante Tamara, & kedua anaknya bernama Dikta & Gita. Setelah pernikahan itu, kk kandungku, Ivan, resmi memilki 3 adik, yaitu Dikta, aku & Gita. Seiring berjalannya waktu, kini aku bisa menerima tante Tamara, Dikta, & Gita sebagai keluargaku. Sampai pada waktunya, Dikta menyatakan perasaannya padaku, ia jatuh cinta padaku, & aku juga tak bisa berbohong pada diriku sendiri, bahwa aku juga cinta pada kakak tiriku, Dikta....***
            Mataku berkelana ke seluruh tempat di dalam ruangan cafe, mencari keberadaan Dikta. Itu dia! Aku menemukannya, di meja no.8. Aku duduk berhadapan dengannya. Entah mengapa suasana cafe ini menjadi begitu damai & sepi. Ia menggenggam tanganku,
“Wid, sebelumnya aku mau nanya dulu sama kamu...”
“Apa?”
“Kamu pernah ga sih suka sama Jonathan?”
“Hah, kamu bercanda? Ya nggak lah,, aku pacaran sama dia gara-gara dia selalu mojokin aku... Kenapa? Koq kamu nanya kayak gitu?”
Dikta terdiam,, suasana kembali hening... akhirnya ia menjawab pertanyaanku,
“Karena....” Aku menyeritkan keningku, kembali menunggunya berbicara.
“Karena aku suka sama kamu, oh, bukan, aku bukan suka sama kamu, tapi aku CINTA sama kamu Widy...”
“Apa?! Kamu ga bercanda kan? Kita itu kan sodara...” Belum juga selesai aku berbicara, ia sudah memotong kalimatku,
“Sodara tiri kan? Kita ga ada hubungan darah apa apa Wid.. Jadi ga ada salahnya kan kalo kita pacaran...”
“Tapi...” Ia mempererat genggaman tanganku & ia terus memandang kearahku... Membuat aku makin yakin dengan apa yang dia ucapkan... Ia menungguku melanjutkan kalimatku, & aku melanjutkannya,
“Tapi,, aku juga suka sama kamu,, & mereka juga ga akan setuju dengan hubungan kita...” Ia terus meyakinkanku,
“Mereka? Siapa? Maksudmu Mama, Papa, K’Ivan, K’Momo, & Gita? Mereka tak perlu tahu tentang hubungan kita.. Kita back stret...”

Suasana kembali hening, aku hanya bisa menerima keputusan itu, karena aku benar-benar sayang sama Dikta,, lebih dari rasa sayang adik pada kakaknya... Aku memang benar-benar suka sama Dia,, orang yang telah memenuhi mejaku dengan setumpuk surat penggemar,, & aku tak bisa membohongi perasaanku,, bahwa aku benar-benar cinta pada Dikta...
            Sejak saat itu, kemanapun aku pergi, ia selalu ada di sampingku. Disaat aku kesepian, ia datang mengisi hariku. Disaat aku mengalami kesulitan, ia selalu membantuku. Dan disaat aku membutuhkannya, ia selalu ada untukku. Ia memiliki suara yang merdu. Ia sering menyanyikan beberapa bait lagu untukku. Aku sangat tersanjung. Beruntungnya diriku memilikinya.
            Sudah hampir 6 bulan aku menjalani hubungan ini dengan Dikta. Aku senang, walaupun tak banyak yang tau tentang hubungan kami, bahkan tak ada yang tau, selain aku & Dikta. Aku tau hubungan ini salah, tapi aku benar mencintainya, walaupun aku tak pernah bisa membayangkan akhir dari kisah cinta ini ***
            Belakangan ini ia menjauhiku, entah mengapa. Ia selalu menolak jika aku mengajaknya pulang bersama. Kini ia telah berubah kepadaku. Bahkan ia memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya ke universitas terkemuka di Jerman, tanpa berdiskusi dulu denganku. Sebelum ia pergi, ia berjanji padaku bahwa ia akan selalu berhubungan denganku. Tetapi nyatanya ia tak pernah menghubungiku. Bahkan setiap kali aku menelponnya, ia tak pernah menjawabku. Aku sungguh kecewa padanya....
            Siang itu aku menerima pesan dari Joe. Ia mengajakku makan siang bersama. Tentu saja aku mau, daripada aku mati berdiri disini, menunggu kabar dari Dikta. Ia menungguku di Rainbow Cafe, meja no.5 . Sungguh, aku tak percaya aku akan bertemu dengannya lagi. Potongan rambut yang sedikit berbeda, kacamata bermodel besar, t-shirt polos berwarna biru... wow!! Ia sungguh berbeda, jauh lebih tampan daripada Joe yang dulu kukenal. Baiklah, aku tak akan membuang waktuku untuk memperhatikannya dari jauh... aku mengambil tempat duduk berseberangan dengannya. Ia tersenyum manis padaku, dan, tentu aku membalasnya dengan senyuman manis pula,
“Hai Wid,, lama ga ketemu... Tambah cantik aja nih..” Ia menyapaku dengan tatapan genit, seperti biasa..
“Ah, tentu saja.. Kau juga, banyak terjadi perubahan padamu semenjak kau bersama Caca...”
“Oh ya?? Aku tak pernah menjalin hubungan apapun dengan Caca..”
“Benarkah....?????” Aku sedikit menyipitkan mataku, yah,, untuk mempertegas kalimat Joe.
“Hmmm.... Sebenarnya,,, aku memang pernah menghianatimu,,,” Ia mengubah cara pandangnya,, lebih serius...
“Lalu??”
“Aku menyesal... Aku ingin kau memaafkanku...”
“Benarkah?? Apakah aku tak akan menyesal jika aku memaafkanmu??”
“hmmm... mungkin... Mungkin tidak...” Hey Boy! Mengapa kau menjadi sedih begitu?? Aku kan hanya bercanda...
“Ahahaha... Tenanglah,, aku hanya bercanda... Sebenarnya sudah dari dulu aku memaafkanmu...”
“Ia kah?? Tapi aku memanggilmu kemari bukan hanya untuk minta maaf...”
“Lalu??” suasana menjadi hening... sampai suara Joe memecahkan keheningan yang terjadi di antara kami..
“Aku masih cinta sama kamu Wid... Kamu mau kan jadi pacar aku lagi??”
Deggg!!! Aku kaget mendengar kalimat itu... aku tak yakin bahwa ia benar benar sudah berubah... Aku juga tak yakin bahwa aku mencintainya, sama seperti Dikta... Tapi aku tak tau apa yang ada dalam pikiranku, sehingga aku bisa menjawab “Ya, aku mau,, aku mau jadi pacarmu lagi...”
Entah sihir macam apa yang Joe gunakan padaku, sehingga aku bisa menerimanya lagi menjadi kekasihku... Tapi, aku sadar,, sejak saat itu aku mempunyai 2 kekasih. Dikta & Jonathan...

            Aku berjalan meninggalkan tempat itu dengan pandangan hampa. Kini aku dengan sengaja menjerumuskan diriku ke dalam masalah yang menyangkut perasaan orang lain. Mengapa aku bisa sebodoh ini?? *rrrr...* ?? teleponku bunyi... dari... DIKTA??!!! Langkahku terhenti, aku tak bisa berfikir jernih... Aku tak menghiraukan panggilannya. Aku tak sanggup. Lagunya berhenti... Itu berarti ia juga berhenti memanggilku. 5 menit kemudian teleponku berbunyi lagi, & terbaca di layarnya “Dikta calling”. Aku berfikir sejenak, jika ia menelponku sampai 2 kali, berarti ia sungguh-sungguh ingin berbicara denganku. Aku menyerah. Aku menjawab panggilannya.
“Aku tak perduli mengapa kau tadi tak menjawab panggilanku, tapi aku akan menunggumu di cafe do re mi, meja no.8, jam 7 malam. Jika kau tak datang juga, kali ini aku akan memperdulikannya.” Suara itu bagaikan air bah di telingaku. Suaranya begitu lancar & cepat.  Bahkan aku tak sempat mengucapkan sepatah katapun... Tunggu, cafe do re mi, meja no.8, jam 7 malam? Bukankah itu....

            Kali ini aku tidak memakai gaun yang indah untuk bertemu dengannya. Kali ini aku datang dengan kaos biru polos & celana jeans, pas di pinggulku. Aku menunggunya, 5 menit, 15 menit, 30 menit, 1 jam... 2 jam sudah aku menunggunya di sini. Aku terus melirik ke arah jam tanganku, berusaha membunuh waktu. Tiba-tiba saja ada yang menggenggam bahuku dari arah belakang....
“Padahal sudah lama kita tidak bertemu, tetapi pada saatnya kita bertemu, aku malah membuatmu menunggu. Maaf ...” Suara itu datang dari arah belakangku. Aku sedikit memutar kepala supaya aku bisa melihatnya dengan jelas. Kemudian pemilik suara itu mengambil tempat duduk di sampingku. ?? Tumben dia mengambil tempat duduk di sampingku... biasanya kan dia selalu duduk berhadapan denganku...
“Ngga papa kok..” Aku menjawabnya acuh tak acuh
“Kau tak terkejut dengan kedatanganku??”
“Untuk apa aku terkejut? Toh kau sudah melupakanku...”
“Apa karna aku tak pernah menelponmu? Aku sibuk...”
“Aku juga sibuk, maka dari itu aku tak terkejut”  Ya Tuhan... Padahal aku hampir mati menerima telpon dari Dikta tadi siang...
“Huh, jahat sekali kau..”
“Kau yang jahat!!!”
Tiba-tiba saja dari arah seberangku ada seorang perempuan tersenyum ke arah meja yang tengah kutempati. Tiba-tiba Dikta berdiri & menyambut perempuan itu.
“Hai sayang...”  Saat Dikta mengucapkan kalimat itu, entah mengapa senyum merekah dari bibir manis perempuan tersebut lenyap begitu saja. Aku bisa melihat kebingungan dari pandangan perempuan itu. Mereka berdua saling bertatapan mata, seakan-akan sedang terjadi perjanjian singkat di antara mereka berdua. Tak lama kemudian Dikta berkata padaku,
“Wid, kenalin ini...”  Ia terdiam sejenak, & kurasa aku tahu apa lanjutan dari kalimat itu, & ia benar-benar mengatakan apa yang ada di benakku.
“Ini Chelsea, pa... pacar aku... Maaf..”
“Buat apa kamu minta maaf? Toh aku ga...”  Tiba-tiba perempuan itu mengulurkan tangannya & memotong kalimatku.
“Kenalin, aku Chelsea, Olivia Chelsea.”  Perempuan ini!! Entah mengapa, kala  itu perasaanku menjadi campur aduk. Kesal, merah, benci, kaget, semua menjadi satu. Tampang polosnya itu tergambar jelas di atas paras cantik yang ia miliki. Rambut panjangnya yang ikal & hitam sempurna, makin mempertegas kecantikan yang ia miliki. Senyumnya yang lebar sedikit memperlihatkan gigi kelincinya yang imut & justru membuatnya semakin manis. Aku iri pada perempuan ini. Matanya yang berbinar itu membuatku tak sanggup bersikap ‘jutek’ padanya. Kurasa ia lebih cocok menjadi adiknya Dikta dibanding menjadi pacarnya Dikta...
“Hmm, ia, aku Widy. Adik tirinya Dikta” Aku menerima uluran tangan perempuan itu & langsung melepaskannya tanpa perduli apa reaksinya kemudian
“Oh, jadi ini yang namanya Widy. Ka Dikta sering cerita tentang kamu”
“Kamu kok manggil dia ‘ka’? Dia kan pacar kamu?”
“Oh, em, ini... Abis udah biasa manggil ‘ka’ sih”
“Oh ya?? Tadi kamu bilang dia sering cerita tentang aku. Apa kamu ga cemburu??”
“Ya ngga lah. Aku kan percaya sama Ka Dikta. Ka Dikta kan sayang sama aku.”  Saat itu ia langsung memeluk lengan Dikta. Huh, ia seperti perempuan manja yang tak ingin ditinggal oleh kekasihnya. Aku tau dia memiliki tampang childist & cute, tapi setidaknya ia bisa bersikap lebih dewasa kan?
“Apa kamu yakin dia sayang sama kamu?”
“He eh, pasti aku percaya..”
Tiba-tiba saja ada seseorang memeluk pinggangku dari arah belakang, lalu ia mengulurkan tangannya & berkata,
“Kenalin juga, aku Joe, Jonathan. Pacarnya Widy...”  JOE?!
Chelsea dengan senang hati menerima uluran tangan Joe, & mereka saling berjabat tangan. Kini, secara otomatis, hubunganku dengan Dikta telah berakhir, di tempat ini. Dulu, di tempat inilah cintaku bersemi... & di tempat ini pula, cintaku kandas... sungguh mengenaskan...

            Kini aku menjalani hari-hariku seperti angin berlalu. Bangun pagi, mandi, sarapan, sekolah, pulang, makan, mandi, & tidur. Tapi ada 1 hal yang hilang dari hidupku, yaitu Dikta... Setiap kali aku sedang bersama Joe, aku selalu membayangkan wajah Dikta. Padahal, hubunganku dengannya sudah seperti dulu, waktu pertama kali aku bertemu dengannya. Aku bingung. Apakah ini perasaanku yang sebenarnya kepada Dikta? Apakah sekarang aku sedang membohongi perasaanku? Dan, apakah ini rasa cinta yang dulu pernah kurasakan bersama Bani? Aku tak mengerti, walaupun aku berusaha untuk mengerti, tetapi aku tetap tidak mengerti. Aku sedang merenungkan nasibku di dalam kamar. Tiba-tiba saja Ka Momo masuk, lalu duduk di sudut tempat tidurku. Ia lalu memulai pembicaraannya denganku..
“Kk tau kok perasaan kamu sekarang..”
“Maksudnya?”
“Kk selama ini emang kurang dekat sama kamu.. tapi sebenernya kk sering banget perhatiin gelagat kamu..”
“.....”
“Kk tau... kamu suka kan sama Dikta..”
“Apa? Ih, kk tuh ngomong apa sih? Mana bisa aku suka sama Dikta.. dia kan kk aku juga”  Ka Momo hanya tersenyum, lalu kini duduk di sampingku
“Kamu ga usah bohong sama kk. Kamu suka kan sama Dikta?”
“Eng.. engga... A.. aku mana mungkin suka sama Ka Dikta?”
“Kamu jujur aja sama kk. Kk ga akan marah kok. Lagipula, itu kan hak kamu mau suka sama siapa...”
“Tapi masalahnya dia itu kk aku kak, aku ga mungkin pacaran sama kk aku sendiri kan?”
“Ah, masa? Buktinya kamu udah pernah pacaran tuh sama Dikta..”  Ka Momo masih menyunggingkan senyumnya yang manis, mungkin, lebih tepatnya senyum sinisnya yang sempurna
“Apa?! Ka.. kakak kok tau?”
“Ga usah kaget, kita itu kan sama-sama perempuan. Jadi, kk bisa langsung tau kalo kamu pacaran sama Dikta”
“Kk ga marah kan?”  Ops, apa aku mengeluarkan nada yang memelas? Huh, yaudahlah saat ini aku memang sedang memelas...
“Ya ngga lah... itu kan hak mau pacaran sama siapa...”
“Jadi?”
“Jadi, kalo kamu aja bisa jujur sama kk, kamu semestinya bisa jujur juga dong sama Dikta?”
“Maksud kk, aku harus jujur sama Dikta soal perasaan aku?”
“Hmmm.... ya.. begitulah...”
“Tapi kalo dia menolakku?”
“Itu kan masalah nanti...”

            Aku hanya bisa termenung. Ka Momo mengambil majalah di laci mejaku, lalu telungkup di sampingku & membaca majalah itu. Sejenak terlintas di pikiranku tentang pembicaraanku & Ka Momo tadi. Bagaimana jika aku ditolak olehnya, lalu hubunganku dengannya benar-benar tidak ada harapan lagi? Tapi walaupun penampilan Joe sekarang jauh lebih tampan, aku tetap tidak bisa memungkiri bahwa aku cinta pada Dikta. Ya, Ka Momo benar, aku harus jujur. Aku harus berkata jujur pada Dikta, apapun jawabannya...

“Ia, kk bener...”
“?? Bener apanya?”
“Kk bener, aku harus jujur pada Dikta. Apapun jawabannya nanti”  Ka Momo lalu tersenyum & memelukku. Kurasa ini adalah keputusan terbaik dalam hidupku. Aku bergegas menelpon Dikta...
“H.. halo..”
“Halo, Widy? Ngapain kamu telpon? Kamar kita kan sebelahan..”
“Ng.. ngga.. Aku Cuma mau ngajak kamu ketemuan di Ocean Cafe.. jam 7...”
“Memang ada apa?”
“Ada yang mau aku omongin.. Penting..”
“Kenapa ngga sekarang aja? Aku ke kamar kamu deh..”
“Eh, ja.. jangan.. ng. Ngga enak kalo disini.. nanti malem aja ya..”
“Oh, OK.. see you..”
“Bye....”  Aku mengucapkan kata terakhir itu sesaat setelah Dikta menutup telponnya. Aku tersenyum lirih & Ka Momo nampaknya ikut bahagia atas keberanianku ini.

            Tepat jam 7 malam... Aku duduk di meja no.10 Ocean Cafe. Kurasa tempat ini adalah tempat paling stategis. Dari sini aku dapat melihat bintang yang seakan menemaniku menunggu Dikta. Waktu terus berlalu... Tapi Dikta belum juga muncul. Aku terus mengawasi pintu masuk sambil sesekali melirik ke arah jam tanganku. Aduh, hp aku lowbat lagi... Dikta.. kamu dimana sih...  3 jam sudah aku menunggunya disini. Aku juga sudah menghabiskan 3 gelas orange juice yang kini membuatku mual. Aku kecewa. Jika hari ini dia tak datang, itu berarti dia memang bukan untukku. Kini, 4 jam sudah aku menunggunya disini. Aku memang kecewa, tetapi mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan untukku... & mungkin juga Dikta memang berjodoh dengan Chelsea. Huh, yaudahlah, mungkin dia memang bukan untukku. Lebih baik aku pulang sekarang

            Setibanya di rumah, aku mangsung nge-charge hp-ku. Mungkin aja Dikta tadi telpon... ternyata dugaanku benar.. ada 5 missed call... Tapi bukan dari Dikta.. Melainkan dari nomor yang tak kukenal. ?? ada SMS juga... Dari nomor yang sama...

From: +628185971...

To: Widy

Message: Widy, ini aku Chelsea, kamu harus ke rumah sakit sekarang. Dikta kritis.. pokoknya kamu harus cepet kesini...

Apa?! Dikta masuh rumah sakit?aku harus kesana sekarang.....

            Setibanya di sana, aku mendapati Chelsea tengah mengangis di pelukan Ka Momo. Ia kemudian menghampiriku & menyeka air mata di pipinya....
“Maafin aku ya ka... Aku udah bohongin kaka...”
“Maksud kamu apa? Dikta kenapa?”
“Sebenernya....”
Tiba-tiba dokter keluar dari ruangan lalu menghampiri kami...
“Dokter,, gimana keadaan Dikta?”
“Kemungkinannya untuk hidup tipis sekali... & mungkin ini adalah kali terakhir kalian bertemu dengan sodara Dikta”
“Dokter kenapa bisa bicara seperti itu? Memangnya dokter itu Tuhan yang bisa mutusin kapan orang meninggal, HAH?!”
“Udah dong Wid,, mungkin memang itu kenyataannya” Ka Momo tiba-tiba saja menenangkanku dan aku mengalah. Aku tak sedang ingin bertengkar dengan siapa pun. Jadi aku memilih diam dan mematung di ambang pintu ruang rawat Dikta. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku terlalu takut untuk melihat keadaan Dikta di dalam. Tapi di sisi lain rasa penasaranku begitu menggebu-gebu sehingga aku tak tahan untuk berlari ruangan itu dan mendapati Dikta terkulai lemas tak berdaya di atas ranjang berukuran kecil yang memprihatinkan itu. Tapi aku taku tak bisa. Kakiku lemas dan tak bisa digerakkan. Tapi aku harus bisa menahan perasaan ini. Aku sudah membulatkan tekad untuk menemui Dikta. Mungkin, terakhir kalinya, tapi kuharap tidak. Jangan menangis. Kau tak boleh menemui Dikta dengan wajah yang basah...

           Perlu keberanian besar untuk memasuki ruangan ini. Hal pertama yang dapat kulihat di ruangan ini, tentu saja, Dikta, terbaring tak berdaya di atas ranjangnya, tak banyak peralatan kedokteran yang melekat pada tubuh Dikta. Mungkin karena dokter sudah menyerah dan angkat tangan dengan keadaan Dikta. Tapi mataku hanya terpaku pada monitor yang terletak di samping ranjang Dikta. Alat itu masih menunjukan grafik naik turun yang tak teratur, Dikta masih hidup. Langkahku terasa berat ketika aku menghampiri sisi ranjang. Aku memandanginya dengan seksama. Aku baru sadar, ternyata ia jauh lebih tampan dari yang aku pikirkan selama ini. Matanya terpejam, seperti anak kecil yang tertidur pulas, dan suatu saat akan terbangun, dan meminta segelas susu pada ibunya. Aku tersenyum pilu dan tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi membanjiri mataku. Tidak.... Aku tak boleh menangis. Aku harus bisa menahan diri. Tapi bagaimana jika dokter itu benar? Bagaimana jika ini adalah kali terakhirku menemuinya?
Aku menarik kursi di samping ranjang Dikta dan duduk diatasnya. Kemudian aku menumpukan kepalaku di atas dada Dikta dan memeluknya. Aku masih bisa merasakan kehangatan di dalam tubuhnya, juga detak jantungnya, berirama, membuatku nyaman di pelukannya.
“Hey...”   Aku memulai pembicaraanku, walaupun aku tahu, tak ada seorangpun yang akan menjawabku. Tapi aku yakin, ada seseorang yang bisa mendengarkanku, Dikta.
“Apa yang sedang terjadi padamu, hah?”  Aku masih dalam pelukan Dikta, dan mulai memejamkan mata..
“Mengapa kau bisa seperti ini? Seperti mayat yang masih mengeluarkan suara ‘dagdigdug’ dari dalam dadanya.”  Aku berhenti sejenak, mengambil nafas, dan menghembuskannya kembali.
“Jujur, aku rindu padamu.”  Aku kembali berhenti, karena aku tak kuasa menahan air mataku, yang akhirnya terjatuh diatas pakaian yang membalut tubuh Dikta, dan akhirnya menghasilkan sebuah pulau kecil di dada bidang Dikta.
“Aku mohon, jangan seperti orang bodoh di hadapanku. Bangunlah... Apakah aku harus bernyanyi untuk membangunkanmu? Dulu kau juga sering begitu padaku...”   Suasana kembali hening.
“Mengapa kau diam? Baiklah kalau begitu, aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu..”
Aku mengangkat kepalaku dan menggenggam tangannya.
“Kau dulu sering mengajariku teknik menyanyi yang benar. Dan kini aku akan membuktikannya. Kuharap aku sudah mengalami kemajuan pesat, sehingga suaraku tidak terlalu buruk untuk kau dengar.”  Aku tersenyum dan menarik nafas panjang, dan menghembuskannya.
Nyanikan lagu indah, sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali...
Nyanyikan lagu indah, tuk melepasku pergi, dan tak kembali...
Selepas aku menyanyikan lagu itu, aku menyadari bahwa pipiku telah dibasahi oleh air mata yang seperti sungai mengalir.
“Huh, bgaimana ini? Baru menyanyikan sebait lagu saja aku sudah menangis. Setelah kau bangun nanti, kau harus mengajari aku bagaimana caranya agar tidak menangis saat menyanyi...”
“Aku malu jika menyanyi sambil menagis, apalagi di hadapanmu...”  Aku menghentikan kalimatku. Seolah menunggu jawaban yang tak akan pernah kudapatkan.
“Hey! Kenapa kau terus membisu begitu? Apa kau tak mau mengajariku menyanyi?”  Aku kembali menangis dan tak tahan lagi
“Demi Tuhan! Bangunlah! Apakah kau tahu apa yang ingin kukatakan padamu di cafe itu? Apa kau ingin tahu, HAH??”  Untuk yang kesekian kalinya aku menyeka air mataku dan mengatur pernapasanku
“Aku ingin memberi tahumu, bahwa aku telah berbohong. Aku sangat merindukanmu. Aku sangat terkejut melihat kau kembali lagi ke Indonesia. Apakah kau tahu, selama ini aku terus memikirkanmu. Aku mengira kau telah hilang ditelan bumi. Dan apakah kau juga tahu? Aku masih mencintaimu. SANGAT MENCINTAIMU...”  Aku memejamkan mataku untuk menenangkan diri. Dan pada saat aku membuka mataku kembali, aku melihat ada sebuah aliran kecil di ekor mata pria tampan itu. Apakah aku tak salah lihat? Ia menangis! Apakah ia bisa mendengarku? Ya, ia mendengarku!
“Apakah kau mendengarku? Kalau iya, aku ingin meminta izin padamu. Aku ingin kau mengizinkanku untuk mencintaimu. Kumohon... Jika kau mengizinkanku, aku akan baik-baik saja. Dan aku akan menjalani kehidupanku seperti biasa. Aku janji...”
*tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit.....*
Tiba-tiba saja aku mendengar ada suara datar yang monoton, dan ketika aku melirik ke arah monitor itu, aku tak melihat lagi grafik naik turun yang tak teratur itu. Aku hanya melihat garis lurus yang tak ada hentinya. Aku menutup mulut dengan menggunakan kedua tanganku. Aku melangkah mundur dengan perlahan, dan bersandar pada dinding putih yang dingin, di bebelah ranjang Dikta. Kakiku lemas, dan aku terjatuh dilantai yang kini seperti es bagiku. Pintu kamar rawat itu terbuka. Seorang dokter dan beberapa suster mengelilingi ranjang Dikta, dan aku terus terfokus pada monitor itu. Berharap garis lurus itu berubah menjadi naik turun lagi. Tapi semua itu tak terjadi. Mereka gagal menyelamatkan Dikta. Dokter itu menghampiriku, dan berkata bahwa, Dikta, sesosok pemuda tampan, yang pernah mengisi hari-hariku, kini telah tiada, meninggalkan segudang kenangan manis, yang pernah ia taburkan di hatiku. Dan aku telah berjanji, bahwa aku akan menyimpan kenangan manis itu, SELAMANYA....   ***

            1 bulan setelah pemakaman Dikta, aku menerima telpon dari Chelsea. Aku sudah lama tak mendengar kabar dari bocah itu.
“Halo?”
“Ka Widy, aku mau ngomong sama kaka. Aku lagi nunggu kaka di Ranbow cafe. Kaka bisa kesini kan?”
“Oh, ya, kaka kesana sekarang”

            Di cafe itu aku melihat tangan yang mengacung ke atas, seakan sedang memanggilku. Dan ketika aku melihat wajahnya, aku melihat wajah imut itu lagi. Chelsea...
“Lama nunggu?”
“Ah, ngga kok. Kaka mau minum apa?”
“Oh, gausah. Kaka masih harus nyiapin bahan buat ujian nanti.”
“OK deh, aku langsung to the point aja ya ka, soalnya aku juga harus nyiapin keberangkatan aku nanti sore” Ia kembali menyunggingkan senyumnya yang manis
“Keberangkatan? Emang kamu mau kemana?”
“Ya aku mau balik Jerman. Aku kan masih harus nyari SMA yang pas. Jadi ga boleh pergi-pergi dulu”
“Kamu baru mau masuk SMA?”
“Ia. Oh ya, sebenernya aku kesini mau bilang sama kaka, kalau sebenernya Ka Dikta itu pergi ke Jerman.... Bukan untuk kuliah, tapi untuk berobat..”
“Apa?!”
“Aku juga sebenernya bukan pacarnya Ka Dikta, tapi aku adik sepupunya Ka Dikta yang kebetulan emang lagi sekolah di Jerman”  Gadis itu tertunduk. Aku rasa aku mengerti bagaimana sulitnya dia untuk berkata jujur padaku
“Terus kenapa kamu pura-pura jadi pacarnya Dikta? Terus apa yang sebenernya terjadi sama Dikta?”
“Aku tuh sayang banget ka, sama Ka Dikta... Dari dulu Ka Dikta selalu melindungi aku. Jadi aku mau balas budi ke Ka Dikta, dengan cara mewujudkan permintaanya, supaya aku pura-pura jadi pacarnya dia”
“Tunggu, aku masih ga ngerti. Kenapa dia minta kamu supaya pura-pura jadi pacarnya dia?”  Lalu gadis itu mengangkat wajahnya dan menatapku dengan tatapan tajam
“Kareana dia cinta sama kaka... Dia ga mau kaka ikut sedih karena tahu soal penyakitnya. Dia juga ngerasa kaka akan dapet pendamping yang jauh lebih pantas dan lebih sehat juga tentunya dibandingkan dengan dia...”
“Penyakit? Penyakit apa maksud kamu?”  Kemudian gadis itu menundukkan kepalanya lagi. Dan kini suaranya melemah
“Leukimia. Leukimia stadium akhir...”
“Apa? Kenapa ga ada yang kasih tau ke aku kalau Dikta sakit separah itu?”
“Mmmm.... Ini emang ga ada yang tahu ka, selain aku, tante Tamara, dan om Ari, orang tua kaka.”
“Tapi setelah Dikta meninggal juga ga ada yang mau kasih tahu ke aku..”
“Itu karena Ka Dikta yang minta, supaya aku sendiri yang kasih tahu ke kaka. Tapi sayangnya aku selalu ga ada waktu. Aku aja sampe ga bisa ikut pemakaman Ka Dikta, juga acara pernikahan Ka Ivan dan Ka Momo minggu lalu. Aku sibuk. Tapi hati aku selalu ga tenang kalau mikirin masalah ini. Aku ngerasa punya hutang sama kaka. Maka dari itu aku ada di sini.”
Aku menitihkan air mataku. Tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa lagi. Semuanya telah terjadi.

Dulu, sewaktu aku masih menjadi kekasih Dikta, aku sering bertanya pada diriku sendiri, bagaimana akhir dari kisah cinta kami... Dan kini akhirnya aku tahu bagaimana akhir dari kisah cinta kami... WALAUPUN MAUT MEMISAHKAN KAMI, TAPI CINTA KAMI AKAN HIDUP ABADI...

*TAMAT*


#hueh,, akhirnya ni cerita tamat juga...
gimana gimana?? bagus ga?? haram di maklumin ya kalo jelek...
terus sory nih ya, klo kata-katanya rada ngaco...
maklumlah,, ngetiknya malem-malem...
hehe...
hufftt...
cpekk gw bkin crita nie..
tpi gppa lah...
ea mngkin agak baku tulisan'a hehehe....
bis'a nie kan cerpen..
jdi'a hrus agak baku...
hehhe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar